Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِى فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا
“Moga Allah memperelok seseorang yang mendengar perkataanku, lalu dia memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya.” (HR. Tirmidzi no. 2658 dengan sanad yang shahih)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan mengenai makna hadits di atas,
Kalau tidak ada keutamaan ilmu selain yang disebutkan dalam hadits di atas, maka itu sudahlah cukup menunjukkan kemuliaan ilmu syar’i. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kepada orang yang mendengar hadits, lalu memahaminya, menghafalkannya dan menyampaikannya pada yang lainnya. Inilah tingkatan ilmu. Pertama dan keduanya adalah mendengar dan merenungkan ilmu. Jika seseorang mendengarnya dan memperhatikan dengan hatinya, menancaplah ilmu dalam qolbunya sebagaimana menancapnya sesuatu yang selalu jadi pusat perhatian, yang hal ini tidak membuat ilmu itu hilang. … Tingkatan ketiga adalah menghafalnya sehingga tidak terlupa. Tingkatan keempat adalah menyampaikan dan menyebarkan hadits (ilmu) di tengah-tengah ummat. Ilmu yang tidak disampaikan pada orang lain adalah ibarat harta simpanan yang dipendam di tanah yang tidak pernah diinfaqkan. Ilmu yang tidak diinfaqkan (artinya: tidak disampaikan pada orang lain, pen) padahal hal itu sudah diilmui, maka lambat laut, ilmu itu akan sirna. Namun jika ilmu diinfaqkan (disampaikan) pada yang lain, maka ilmu itu akan terus tumbuh dan berkembang.
Barangsiapa yang melakukan empat martabat ini, maka ia termasuk dalam orang yang menjalankan dakwah nabawiyyah yang hal ini mencerahkan lahir dan batin. Karena yang namanya nadhroh, maksudnya adalah keelokan di wajah karena sebab iman dan hal ini pun akan merambat pada batin yang ikut menjadi elok. Hati menjadi begitu ceria dengan keelekon tersebut dan inilah yang namanya kegembiraan. Kegembiraan inilah yang akhinya tampak pada wajah.[1]
***
Bahasan singkat ini menunjukkan akan kemuliaan ilmu syar’i. Karena ilmu jika dimuthlaqkan maka maksudnya adalah demikian dan bukan maksudnya adalah ilmu dunia. Jika seseorang memperhatikan penjelasan hadits di atas, maka seharusnya ia termotivasi mempelajari, memahami, menghafalkan ilmu syar’i yang dipelajari, lalu setelah itu ilmu tersebut disampaikan pada yang lain. Karena ilmu yang sekedar disimpan untuk diri sendiri, maka lama kelamaan bisa sirna sebagaimana harta simpanan yang tidak pernah diinfaqkan dan hanya sekedar dipendam di dalam tanah. Beda halnya jika ilmu itu gemar disampaikan pada yang lainnya, maka ilmu itu akan terus bertambah dan berkembah. Oleh karenanya, janganlah bosan mencari ilmu dan menyebarkannya pada saudara muslim yang lainnya, baik melalui tulisan, lisan atau pun dengan contoh suri tauladan yang hasan (baik).
Wallahu waliyyut taufiq.
Worth note in Panggang-GK, 21st Shafar 1432 H, 25/01/2011 <in the blessed morning on vacation>
Artikel asli: https://rumaysho.com/1534-seandainya-tidak-ada-keutamaan-ilmu-selain-ini.html